Jumat, 13 Agustus 2010

Software Blok Konten Porno dan UU ITE

Setelah RUU ITE disahkan menjadi UU ITE oleh DPR,

masih banyak terdapat permasalahan yang terjadi,
selain itu masih terdapat kekurangan dalam beberapa pasal yang sangat krusial,
diantaranya adalah kontroversi soal pemblokiran situs porno,
seperti dikatakan kang onno yang dikutip dari detikNet :

Masalah pornografi menjadi salah satu yang disorot dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pemerintah bahkan berencana meluncurkan software untuk memblokir situs porno. Namun, penggunaan software anti pornografi dianggap melanggar hukum.

Hal itu diungkapkan Pakar Internet Onno W. Purbo, melalui e-mail kepada detikINET, Senin (31/3/2008). Menurut Onno, software anti pornografi dianggap melanggar hukum karena konsep kerja software tersebut adalah melakukan intersepsi trafik yang lewat. Intersepsi sendiri, berdasarkan UU ITE Pasal 31, termasuk sebagai tindakan yang melanggar hukum.

Pasal 31, lanjut Onno, nantinya akan menjadi masalah bagi software penyaring konten pornografi. “Teknik intersepsi yang dilakukan oleh software penyaring konten (content filtering) melawan hukum,” tutur Onno.

dan ini beberapa ayat yang terkait pada pasal 31 tersebut

Pasal 31

  1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau
    penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau
    Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
  2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atas
    transmisi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan di
    dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain, baik yang tidak
    menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya perubahan, penghilangan,
    dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.

Jadi jika pemerintah tetap menjalankan filter konten porno tersebut,
itu akan melawan hukum, sehingga akan menimbulkan masalah baru,
selain itu, dalam beberapa pasal juga terdapat permasalahan yang akan dirasakan oleh para blogger,
untuk permasalahan UU ITE yang akan dirasakan oleh para blogger,
silahkan kunjungi blognya om cosa.

Pandangan Seorang Polisi Mengenai UU-ITE

Dikutip dari blog seorang polisi :

http://reinhardjambi.wordpress.com/2008/03/28/para-blogger-jangan-kuatir-ternyata-masih-banyak-kelemahan-uu-ite/


Seru juga perdebatan tentang keberadaan UU ITE ( Informasi dan Transaksi Elektronika) yang telah disyahkan oleh DPR tanggal 23 maret yang lalu, apalagi rekan saya Anggara sudah duluan membahas masalah ini dalam beberapa tulisannya di blognya anggara.org, saya jadi penasaran juga dan saya baca satu – persatu kalimatnya dalam UU tersebut…. Memang secara formil Undang – undang itu bertujuan baik yaitu bermaksud melindungi masyarakat luas yang nantinya akan ”terganggu” karena aktifitas di dunia maya… kalau saya klasifikasi ada beberapa obyek yang dilindungi dalam UU ini :

  • Manusia/ orang secara pribadi, dari : penipuan, pengancaman dan penghinaan
  • Masyarakat (sekumpulan orang) dari : dampak negatif dari kesusilaan, perjudian dan akibat dari penghinaan SARA
  • Korporasi (perusahaan) atau suatu lembaga dari : kerugian akibat penjebolan data rahasia dan keuangannya juga pembuat sofware yang di crack sehingga rugi (hahaha….)

Dari semua ini saya mengerti yang paling banyak ditakutkan oleh para blogger seperti juga mas anggara adalah pasal 27 UU ITE yang berbunyi :


Pasal 27 (1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan. (2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian. (3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. (4) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.


Para blogger mungkin merasa terancam dengan ‘hilang” kebebasan untuk berekspresi dalam tulisan di blog nya… tetapi jangan kuatir ternyata banyak materi hukum formil yang belum jelas untuk penyidikan terhadap seorang tersangka UU ITE ….


KESATU

Misalnya saya seorang penyidik sedang menyidik seorang blogger yang menghina sesorang dan disangkakan melanggar pasal 27 ke (3), kesulitan terbesar bagi saya adalah mencari alat bukti yang dapat dihadapkan di sidang pengadilan, karena menurut pasal 183 dan 184 KUHAP (UU ITE tetap mengacu kepada UU no 8 tahun 1981 ttg KUHAP)


Pasal 183 Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.

Pasal 184 (1) Alat bukti yang sah ialah : a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa.


Kita cari alat bukti yang paling umum yaitu “saksi” yaitu seorang yang mendengar, melihat, merasakan seorang tersangka melakukan perbuatannya (mengetik di depan komputer…) …karena ada istilah hukum “unus testis nula testis” artinya “satu saksi adalah bukan saksi” … nah mencari saksi seorang saja susah apalagi lebih dari satu…?

Paling yang bisa saya dapatkan ialah mencari saksi ahli … misalnya pak Roy Suryo yang bisa menjelaskan media dan faktor teknis lainnya tentang internet (IP , situs, server, bandwith, provider dll….), perlu seorang ahli lain yaitu Ahli Bahasa yang mampu menerangkan apa benar kata – kata blogger tersebut bisa dikategorikan menghina sesorang …

Nah ini celakanya dari penyidik… paling bisa didapat alat bukti lainya yaitu alat bukti “petunjuk” misalnya copy tulisan kita yang didapat di internet…., jadi maksimal penyidik hanya bisa menghadirkan alat bukti “Saksi Ahli” dan ‘Petunjuk” …. Hal itu masih sangat riskan dalam mengajukan seorang tersangka ke pengadilan….


KEDUA


Masalah paling krusial ialah “Locus Delicti” atau istilah popularnya ialah TKP (tempat kejadian perkara), hebat benar undang – undang ini, lihat pasal 2 UU ITE :


Pasal 2

Undang Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.



Nah coba bayangkan kalau kita melakukan tindak pidana seperti yang diatur dalam UU ITE di luar negeri….? Apa bisa ditangkap kesana… tunggu dulu, belum semua negara mempunyai “perjanjian extradisi” jangankan negara yang jauh… negara terdekat yang seperti Singapura aja belum bisa …

Menurut saya hal yang paling lucu juga…. Internet adalah sebuah sarana tekhnologi yang tidak mengenal “batas negara” …. Kalau kita menggunakan wordpress.com misalnya yang menggunakan server luar negeri .. apakah bisa di katakan TKP nya di Indonesia ? atau sekarang ada sarana “IP Switcher” yang bisa mengaburkan IP kita…. Kalau di IP kita tertulis dari negara lain bagaimana ???? Intinya : kalau penyidik tidak bisa memastikan “Locus Delicti” sebuah kejahatan akan susah sekali untuk memperkarakannya sampai ke sidang pengadilan…..



KETIGA


Hal lain yang sangat formil dalam hukum adalah “TEMPUS” atau waktu kejadian perkara… nah kalau penyidik tidak bisa menentukan kapan terjadinya tindak pidana, ya tidak bisa … nah kalau para blogger tidak menggunakan waktu indonesia (GMT + 7) atau mengacaukan tanggal perbuatannya dilakukan (apalagi tidak ada saksi yang mendukung) akan susah sekali penyidik mengajukannya sampai sidang pengadilan…

Nah blogger sekalian …tulisan ini bukannya untuk mengajari berbuat jahat.. tapi inilah sedikit dari permasalahan yang akan dihadapi para penyidik dalam mengungkap perbuatan jahat dalam UU ITE…(masih banyak lagi dan terlalu panjang untuk dijelaskan…) berdasarkan dari pengalaman saya sebagai penyidik…. Masih susah bukan ?

Pada intinya diperlukan MORAL yang baik dari para Blogger agar menghindari perbuatan asusila, perjudian, menghina seseorang dsb dsb dari media dunia maya ini…..

Dan saya pun secara pribadi lebih berpendapat : “janganlah kita meng-kriminalisasi perbuatan yang hanya dianggap melanggar moral”….. semua tergantung pada keimanan kita masing – masing….

Selasa, 27 Juli 2010

Penjelasan Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

............................????????????????

Pemanfaatan Teknologi Informasi, media, dan komunikasi telah mengubah baik perilaku masyarakat maupun peradaban manusia secara global. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah pula menyebabkan hubungan dunia menjadi tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung demikian cepat. Teknologi Informasi saat ini menjadi pedang bermata dua karena selain memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan, dan peradaban manusia, sekaligus menjadi sarana efektif perbuatan melawan hukum.[1]

Mengingat sebelumnya ada beberapa fase-fase global yang berkembang sesuai dengan perubahaan zaman, fase yang pertama adalah berawal dari bercocok tanam (agraria), fase yang kedua adalah fase industi atau revolusi Prancis, fase yang ketiga adalah masuk kedalam fase komunikasi seperti pemakaian telephone, dan fase yang keempat yaiu teknologi informasi seperti cara memperbaharui orang berkomunikasi. Dan fase keempat inilah yang sedang kita hadapi sekarang. Oleh karena itu, teknologi juga mempengaruhi budaya (culture) yang ada di masyarakat sehingga ketika ada suatu perubahan dalam masyarakat maka ada suatu pengaruh terhadap pola pikir masyarakat dan perbedaan budaya mempengaruhi pula moral masyarakat itu sendiri, dalam hal ini hukumlah yang sangat berperan dalam mengatur pola perilaku masyarakat, sesuai dengan pernyataan ubi soceitas ibi ius (di mana ada masyarakat disitu ada hukum) dan sampai sekarang masih relevan untuk dipakai. Dalam masyarakat yang tradisional pun pasti ada hukum dengan bentuk dan corak yang sesuai dengan tingkat peradaban masyarakat tersebut. Suatu masyarakat tanpa hukum tidak akan pernah menjadi masyarakat yang baik.[2]

Hukum mempunyai berbagai fungsi yaitu sebagai Sarana pengendalian masyarakat (a tool of social control), Sarana pemelihara masyarakat (a tool of social maintenance), Sarana untuk menyelesaikan konflik (a tool of dispute settlement), Sarana pembaharuan/ alat merekayasa masyarakat (a tool of social engineering, Roscoe Pound). Dari fungsi-fungsi hukum tersebutlah pemerintah sebagai penjamin kepastian hukum dapat menjadi sarana pemanfaatan teknologi yang modern. Sebagai salah satu bukti nyata adalah dibuatnya suatu kebijakan dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diharapkan mempunyai dampak terhadap kegiatan perekonomian di Negara Indonesia. Dan dilihat dari luas lingkup dalam hukum ekonomi, UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini terdapat faktor-faktor ekonomi meliputi:

a. Faktor teknologi

1. Perkembangan teknologi infomasi dan komunikasi yang tanpa batas

2. Melahirkan bentuk-bentuk perbuatan hukum baru seperti transaksi elektronik

3. Tujuan dari teknologi informasi dan transaksi elektronik :

a. Mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia

b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;

d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan

e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara Teknologi Informasi.

b. Faktur distribusi atau pemasaran

1. Pengembangan usaha melalui Internet

2. Mempromosikan lewat internet

3. Sebagai pemerataan pendapatan

4. Sebagai pengembangan Usaha kecil

Saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal dengan hukum siber atau hukum telematika. Hukum siber atau cyber law, secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Demikian pula, hukum telematika yang merupakan perwujudan dari konvergensi hukum telekomunikasi, hukum media, dan hukum informatika. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum teknologi informasi (law of information technology), hukum dunia maya (virtual world law), dan hukum mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan yang dilakukan melalui jaringan sistem komputer dan sistem komunikasi baik dalam lingkup lokal maupun global (Internet) dengan memanfaatkan teknologi informasi berbasis sistem komputer yang merupakan sistem elektronik yang dapat dilihat secara virtual. Permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik[3].

Dalam UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selain mengatur tentang pemanfaatan teknologi informasi juga mengatur tentang transaksi elektronik, Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Bahwa didalam penerapannya, UU No 11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini masih ada kendala-kendala teknis.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Bagaimana Eksistensi Informasi Transaksi Elektronik dalam meningkatkan pembangunan perekonomian di Indonesia?

2. Kemungkinan kemungkinan masalah yang akan terjadi dalam penerapan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ?

BAB II

PEMBAHASAN

EKSISTENSI UU NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI TRANSAKSI ELEKTRONIK DALAM MENINGKATKAN PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN DI INDONESIA

2.1 Eksistensi Informasi Transaksi Elektronik dalam meningkatkan pembangunan perekonomian di Indonesia

Sistem ekonomi yang dianut oleh Indonesia adalah sistem ekonomi campuran yaitu perekonomian bertumpu pada kekuatan dan mekanisme pasar tetapi pasar tersebut tidak kebal dari intervernsi pemerintah singkatnya sistem ekonomi ini merupakan campuran antara unsur-unsur dalam perekomian pasar dan perekomian sosialis.[4]

Pemerintah sebagai regulator mengatur kegiatan perekonomian Indonesia, dalam hal ini kegiatan ekonomi berupa transaksi secara elektronik dengan membuat suatu kebijakan atau perangkat hukum berupa UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang memiliki tujuan antara lain [5]:

a. Memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha dalam menjalankan aktivitas usahanya.

Dengan adanya perangkat hukum, maka kepastian hukum akan terjamin.

Informasi /dokumen elektronik/hasil cetaknya sbg alat bukti hukum yg sah sebagai mana dimaksud dalam Pasal 5

b. Memberikan perlindungan hukum bagi para pelaku usaha dan bagi konsumen

Pelaku Usaha menyediakan informasi yg lengkap dan benar. sebagai mana dimaksud dalam Pasal 9.

Melindungi Konsumen dari berita bohong dan menyesatkan yg merugikan Konsumen dalam transaksi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1).

Melindungi Pelaku Usaha dari tindakan-tindakan melawan hukum, misal : seseorang yg melanggar/menerobos sistem pengamanan sebagai mana dimaksud dalam Pasal Pasal 30 (3)

c. Memberikan proteksi secara khusus bagi pelaku usaha nasional khususnya yang termasuk sebagai pengusaha kecil dalam menghadapi persaingan dengan pengusaha asing.

Pemerintah menciptakan iklim usaha yang sehat dan kondusif untuk mengembangkan usaha dari pelaku usaha nasional supaya dapat bersaing dengan pengusaha asing.

dengan adanya perbuatan yang dilarang, misal : informasi/dokumen elekronik yang melanggar kesusilaan, memiliki muatan perjudian, pencemaran nama baik, pemerasan, atau pengancaman sebagai mana dimaksud dalam Pasal 27.

d. Melindungi kepentingan umum dari kemungkinan terjadinya praktik bisnis yang tidak sehat dari para pelaku ekonomi

Nama Domain (alamat internet) yg telah terdaftar tidak boleh disalahgunakan oleh Pelaku Usaha lain karena dpt merugikan pemilik domain sebagai mana dimaksud dalam Pasal Pasal 23

e. Menciptakan pemerataan pendapatan dan mendorong pertumbuhan ekonomi makro

Dengan adanya sistem elektronik maka jaringan usaha akan semakin luas dan produksi meningkat sehingga penyerapan tenaga kerja juga akan tinggi.

ASAS-ASAS

Hukum Ekonomi Indonesia sebagai suatu sistem juga memiliki seperangkat asas-asas dan kaidah hukum. Asas atau prinsip hukum yang dapat diartikan sebagai landasan filosofis yang menjiwai, memayungi, mengilhami atau menghidupi substansi dari suatu peraturan hukum. Di dalam UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdiri atas asas-asas sebagai berikut :

a. Asas Kepastian Hukum

Landasan hukum bagi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik serta segala sesuatu yang mendukung penyelenggaraannya yang mendapat Pengakuan Hukum di dalam dan diluar pengadilan. Sebagai contoh :

Pasal 6 : 
Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.

b. Asas Kepastian Hukum

Pasal 30 ayat (3) :

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.

c. Asas Manfaat

Asas bagi pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik diupayakan untuk mendukung proses informasi sehingga dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat

Pasal 4 huruf d :

membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap Orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan Teknologi Informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab

d. Asas efisiensi

Pasal 4 huruf C : meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan publik

Pelayanan Publik adalah segala bentuk jasa pelayanan, baik dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab dan dilaksanakan oleh instansi pemerintah di pusat, di daerah, dan dilingkungan BUMN atau BUMD, dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan adanya teknologi maka kita bisa meng efisienkan waktu. Contoh : pembayaran listrik dengan menggunakan ATM (Anjungan Tunai Mandiri ).

e. Asas keterbukaan / transparansi

Pasal 9 :

Pelaku usaha yang menawarkan produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang di tawarkan

Dengan adanya keharusan diatas maka perusahaan harus terbuka atas produk yang dikeluarkan atau isi kotraknya tidak boleh mengandung unsur yang merugikan konsumen. Dalam perlindungan konsumen itu dikenal dengan klausula eksonerasi dimana adanya pengalihan tanggung jawab yang seharusnya tanggung jawab pelaku usaha menjadi tanggung jawab konsumen.

f. Asas Persamaan Perlakuan / Non-diskriminasi

Pasal 14 :

“Penyelelenggara sertifikasi elektronik harus menyediakan informasi yang akurat, jelas, dan pasti kepada setiap pengguna.

a. Metode yang digunakan untuk mengidentifikasi penanda tangan

b. Hal yang dapat digunakan untuk mengetahui data diri pembuat tanda tangan elektronik

c. Hal yang dapat digunakan untuk menunjukan keberlakuan dan keamanan tanda tangan elektronik.

g. Asas pertanggung jawaban / akuntabilitas

Pemilik, penyedia, pengguna system informasi seharusnya bertanggung jawab dan mempertanggung jawabkannya.(agus riswandi)

Pasal 15 (2) : penyelenggara sistem elektronik bertanggung jawab terhadap penyelenggara sistem elektronik

h. Asas kebebasan berkontrak yang terbatas

Pasal 18 ayat (1) : transaksi elektronik yang dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak

Pasal 19 : para pihak yang melakukan transaksi elektronik harus menggunakan sistem elektronik yang disepakati.

i. Asas pembangunan berkelanjutan

Pasal 4 huruf b : mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahtraan masyarakat.

j. Asas kemandirian yang berwawasan kebangsaan

Pasal 23 ayat (1) setiap penyelenggara negara, orang, badan usaha, dan/atau masyarakat berhak memiliki nama domain.

k. Asas kemitraan

Pasal 22 ayat (1) : “ penyelenggara agen elektronik tertentu harus menyediakan fitur pada agen elektronik yang dioperasikannya.

l. Asas pasar bebas yang terkendali

Pasal 23 ayat (2) : pemilik dan pengguna nama domain harus didasarkan pada itikad baik, tidak melanggar prinsip persaingan usaha secara sehat, tidak melanggar hak orang lain.

m. Asas keadilan

Pasal Pasal 46 ayat (3) setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara lama 8 (delapan) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 800.000.000(delapan ratus juta rupiah)

Dengan adanya asas asas seperti Asas Kepastian Hukum Asas Kepastian Hukum, Asas Manfaat, Asas efisiensi, Asas keterbukaan / transparansi, Asas Persamaan Perlakuan / Non-diskriminas,i Asas pertanggung jawaban / akuntabilitas, Asas kebebasan berkontrak yang terbatas, Asas pembangunan berkelanjutan, Asas kemandirian yang berwawasan kebangsaan, Asas kemitraan, Asas pasar bebas yang terkendali, Asas keadilan dalam Undang Undang No 11 tahum 2008 dapat memberikan kepastian hokum kepada pengguna tekhnologi dalam melakukan kegiatan perekonomian ( transaksi ) secara elektronok.

Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terdiri dari kaidah mandiri dan tidak mandiri .

KAIDAH MANDIRI

1. Kaidah Perilaku

a. Bersifat melarang

Dalam UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini pemerintah sebagai regulator menetapkan perbuatan-perbuatan apa saja yang tidak boleh dilakukan ketika bertransaksi secara elektronik.

Perbuatan yang dilarang sesuai dengan pasal pasal 27 s.d. Pasal 33

- melanggar kesusilaan, mencemarkan nama baik,

- dengan sengaja dan tanpa hak / melawan hukum mengakses sistem orang lain,

- melanggar/menerobos/menjebol sistem pengamanan, dll

b. Bersifat Perintah

Pemerintah sebagai regulator juga memberikan instruksi kepada setiap orang yang akan bertransaksi secara elektronik wajib memenuhi persyaratan.

Setiap orang wajib memberikan pengamanan atas TTD elektronik sebagai mana tercantum dalam Pasal 12

c. Bersifat menghukum / sanksi

Penjatuhan sanksi atau hukuman bagi pihak yang terbukti melakukan pelanggaran dan/atau kejahatan ekonomi yang diancam oleh Undang-Undang ITE ini

Ketentuan Pidana : Pasal 45 s.d. Pasal 52 : Ketentuan Pidana

Melanggar kesusilaan, Mencemarkan nama baik, penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 milyar rupiah

2. Kaidah Kewenangan

a. Bersifat Penunjukan

sebagaiman yang tercantum dalam pasal Pasal 43 mengenai Kewenangan Penyidik :

- Penyidik POLRI dan PNS tertentu

- Penyidikan, Penggeledahan, Penyitaan, Penangkapan, Penahanan

b.Bersifat Menata / Mengatur / Mengarahkan

Pemerintah menetapkan dan mengarahkan UU ini dalam rangka pemanfaatan teknologi dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai.

Pasal 4 tentang Tujuan dari pemanfaatan teknologi :

- Mencerdaskan kehidupan bangsa

- Mengembangkan perdagangan perekonomian nasional

- Efektifitas dan efisiensi pelayanan publik

- Kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi

KAIDAH TIDAK MANDIRI

a. Bersifat Deklaratif/Penegasan/Pernyataan

Penyelenggaraan transaksi elektronik dalam lingkup publik ataupun privat sebagaimana tercantum dalam Pasal 17
 

Salah satu bentuk pelayanan publik menggunakan teknologi (elektonik) melalui e-Government. Berdasarkan definisi dari world bank, e-Govermnent adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah yang memungkinkan pemerintah untuk mentransformasikan hubungan dengan masyarakat, dunia bisnis dan pihak yang berkepentingan. Dalam prakteknya e-Goverment adalah penggunaan internet untuk melaksanakan urusan pemerintah dan penyedian pelayanan publik yang lebih baik dan cara yang berorientasi pada pelayanan masyarakat. Tujuan yang ingin dicapai adalah unuk menciptakan costumer on-line bukan in-line, e-government bertujuan memberikan pelayanan tanpa adanya interpensi pegawai institusi public dan system antrian. Beberapa contoh implementasi e-goverment berupa pelayanan pendaftaran warga negara antara lain pendaftaran kelahiran, dan penggantian alamat, perhitungan pajak, pendaftaran bisnis, perijinan kendaraan, dsb.

b. Bersifat Mengkualifikasi / Persyaratan

§         Pasal 11 tentang Persyaratan TTD elektronik yg memiliki kekuatan hukum & akibat hukum yang sah : 
§         Data pembuat TTD elektronik terkait hanya kpd penanda tangan, hanya berada dalam kuasa Penanda tangan
§          Ada cara tertentu untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya
§          Ada cara tertentu untuk menunjukan bahwa Penanda tangan telah memberikan persetujuan
               Dengan adanya kaidah mandiri dan tidak mandiri dalam Undang Undani No. 11 tahun 2008  tentang informasi dan transaksi elektronik ini dapat diimplementasikan dalam penerapannya terhadap masyarakat yang menggunakan tekhnologi sehingga perilaku dalam pergerakan perekonomian di Indonesia.
 

METODE PENDEKATAN YANG BISA DILAKUKAN DALAM UU NO 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

iterdisipliner – multidisipliner adalah hukum ekonomi indonesia berkaitan dengan segala macam kaidah hukum baik hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara dan hukum internasional, kalau kita lihat bahwa didalam ITE ada kaidah-kaidah hukum pidana yaitu pada Pasal 45 sampai dengan Pasal 52 . yang termasuk kaidah hukum administrasi adalah Pasal Pasal 10 , hukum Perdata ada dalam Pasal 23 ayat (2) ,Pasal 26 ayat (2), Pasal 18 ayat (1) Pasal 19 Pasal 20, hukum internasional Pasal 18 ayat (2) (3)

Transnasional adalah Hukum ekonomi tidak lagi dapat ditinjau dan dibentuk secara intern nasional saja tapi juga pendekatan internasional Dengan cara memandang kejadian-kejadian perekonomian dalam negeri dalam kaitannya dengan perkembangan di dunia internasional . dalam UU ITE ini tidak bisa menggunakan pndekatan hukum nasional saja akan tetapi perlu bantuan pendekatan hukum internsional karena dalam dunia maya kita bebas bertransaksi dengan siapapun dan otomatis ketika kita bertransaksi dengan warga negara lain maka kita perlu kepastian hukum mana yang mengatur, masalah tentang itu diatur dalam Pasal 18 ayat (2) dan (3) yang intinya dalam ayat (2) adalah para pihak berwenang untuk memilih hukum ( itu artinya bisa saja orang yang bertransaksi itu memilih hukum negara lain) ayat (3) menyebutkan bahwa apabila tidak terjadi pilihan hukum maka berlaku asas-asas hukum perdata internasional.

Futuristic adalah kebijakan-kebijakan hukum ekonomi dapat menjangkau perkembangan perekonomian di masa yang akan datang tidak mudah ketinggalan jaman. Bahwa dalam UU ITE mengandung pendekatan futuristic karena pada masa yang aka datang teknologi semakin berkembang sehingga hukum harus mengatur tentang perubahan yang ada di masyarakat termasuk perubahan dalam bidang teknologi supaya tercapai kepastioan hukum dalam UU ITE tercemin kaidah –kaidah bahwa hukum dapat menjangkau perkembangan perekonomian dimasa yang akan dating yaitu terlihat dalam beberapa Pasal yang berkaitan dengan perundang-undangan lain sehingga UU ITE inji bersifat fleksibel sepanjang tidak bertentangan dengan UU ITE ini. Juga sebagai wujud law is a tool of social engineering, menurut pendapat prof. tubagus ronny rahman nitibaskara bahwa hukum tidak lagi berfungsi sebagai social engeenering, hukum tidak lagi diletakan dalam posisi dimuliakan, tetapi acap kali digunakan sebagai alat kejahatan atau di istilahkan law as a tool of crime, kepastian hukum hanya dibuat untuk dalih mereih keuntungan sepihak. yang dikatakan “ demi kepastian hukum” sering hanya retorika untuk membela kepentingan pihak tertentu. Akhirnya, proses hukum diluar dan didalam pengadilan menjadi eksklusif milik orang –orang tertentu yang berkecimpung dalam perkara bahka advokat dapat membangun kontruksi hukum yang dituangkan dalam kontrak yang sedemikian canggih sehingga kliennya meraih kemenangan tanpa melalui pengadilan, jadi hukum tidak lagi sebagai alat rekayasa social tetapi hukum direkayasa.

2.2 KEMUNGKINAN KEMUNGKINAN MASALAH YANG AKAN TERJADI DALAM PENERAPAN UU NO.11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

Permasalahan hukum dalam transaksi elektronik ;

a. Penggunaan domain name

- Prinsip first come first serve (ketika kita mendaftarkan nama domain misalnya nama domain yang terkenal, maka nama domain tersebut tidak bisa dibatalkan)

- Itikad baik, persaingan usaha yang sehat, tidak melanggar hak orang lain

- Pengelola pemerintah/masyarakat

- Pengambilalihan sementara

- Pengakuan nama domain dari pengelola asing

- Peraturan Pelaksana yaitu Peraturan Pemerintah mengenai UU No 11 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini belum ada

b. Alat bukti

- Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah

- Pengecualian untuk surat-surat yang menurut UU harus tertulis

- Dokumen elektronik sah sepanjang informasinya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dapat dipertanggungjawabkan

- PP, pengawasan, sertifikasi belum ada

c. Pengakuan “Pemberitahuan E-mail sebagai “Pemberitahuan tertulis”(written notice)

d. Pembajakan internet berkaitan dengan HAKI ( pembajakan lewat internet sangat sulit untuk di deteksi karena pada dasarnya pemerintah belum menyediakan fasilitas atau suatu lembaga yang khusus menangani masalah atau pendeteksian pelanggaran internet, seperti dalam kejahatan money laundring ada suatu lembaga yang mengawasi yaitu PPATK.

e. Perlindungan bagi konsumen dalam transaksi elektronik ( perlindungan bagi konsumen itu pengaturannya diatur dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen sehingga kurang efektif dalam penerapannya. Dalam hal penyelesaian sengketa konsumen tahap-tahap nya sama dengan UU No 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen, untuk itu terdapat kelemahan-kelemahan seperti : ketidakjelasan kompetensi mengadili dan lembaga yang berwenang menyelesaiankan sengketa.

f. Pilihan hukum dalam hal transaksi elektronik merupakan transaksi antar negara ( dalam UU ITE ini pilihan hukum itu berdasarkan asas-asas hukum perdata Internasional.

Dalam Pasal 28 ayat (2) ( dalam Pasal ini terkendala kalau pelakunya warga negara asing, seperti kasus film fitnah negara menaggulangi dengan memblok situs yang memuat film fitnah tetapi imbasnya setiap yang memuat kata-kata fitnah itu situsnya di blok.

Dalam pasal 1 ayat (10) dan (11) tentang penyelenggara sertifikasi elektronik dan lembaga sertifikasi keandalan dikhawatirkan akan terjadi benturan kewenangan sehingga kedua lembaga tersebut dalam menjalankan tugasnya tidak efisien atau bisa disebut kotra produktif.

Pasal 20 ayat (2) tentang taransaksi elektonik disebutkan bahwa persetujuan atas penawaran transaksi elektronik harus dilakukan dengan pernyataan secara elektronik, melihat dari isi atau substansi dari Pasal 20 ayat (2) menutup kemungkinan bagi setiap orang yang memberi pernyataan dalam bentuk tertulis yang bukan elektronik kecuali para pihak tersebut menentukan cara atau pernyataan yang disetujui oleh kedua belah pihak sebelum melakukan transaksi.

Pasal 21 ayat (1) yang menyatakan bahwa pengirim atau penerima dapat melakukan transaksi melalui pihak yang kuasakannya dalam Pasal ini tidak jelas bagaimana cara pengirim atau penerima memberikan kuasa, apakah harus secara tertulis atau bisa dengan lisan. Dan secara teknis tentang pemberian kuasanya ini tidak diperintahkan oleh UU ITE ini.

Pasal 23 ayat (3) tentang pembatalan nama domain, dalam seminar kontrversi UU No 11 Tahun 2008 salah satu pembicara dari kalangan praktisi menyebutkan bahwa Pasal 23 ayat (3) tidak bisa dilaksanakan karena menurut beliau nama domain itu tidak bisa di batalkan karena server atau pusat data berada diluar negeri.

Pasal 24 ayat (2) tentang hak pemerintah tentang pengambilalihan sementara pengelolaan nama domain oleh pemerintah. Ketika pemerintah mengambilalih sementara, maka harus ada kejelasan waktunya atau berapa lama.

Dalam pasal 27 ayat 3 ( batasan unsur-unsur penghinaan dan pencemaran nama baik itu tidak jelas sehingga menimbulkan ambiguitas dan menurut tubagus law as a tool of crime dan itu belum diatur secara specifik, padahal pemerintah mencabut pasal penghinaan dalam KUHP .sehingga dengan tidak ada batasan tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, ada kekhawatiran dari kalangan pers bahwa UU ITE membatasi para jurnalis untuk menulis berita secara bebas sesuai dengan fakta-fakta di lapangan. Pasal 27 ini terkait dengan Pasal 1 ayat (11) UU No. 40 tahun 1999.

Pasal 34 ayat (1) setiap orang dengan sengaja tanpa hak atau melawan hukum , memproduksi, menjual, mengadakan untuk digunakan, mengimpor, mendistribusikan, memiliki :prangkat keras atau lunak untuk mempasilitasi perbuatan sebagai mana dimaksud dalam pasal 27 sampai 33, Pasal ini tidak bisa diterapkan karena ketika ada suatu program atau yang menyediakan fasilitas sebagaimana di atur dala Pasal 27sampai 33 pelakunya susah untuk di jerat karena dalam substansinya menyatakan penyedia layanan itu juga terkena sanksi, pasal ini terkendala kalau servernya ada di luar negeri.

Pasal 43 ayat (5) penyidik pegawai negeri berwenang menerima laporn atau pengaduan dalam hal ini seharusnya UU membedakan antara laporan dan pengaduan karena itu berakibat pada konsekwensi hukumnya. Laporan itu tidak bisa dicabut oleh pelapor jadi kasus itu walaupun kedua belah pihak sudah berdamai kasus itu akan terus diprases sedangkan pengaduan orang yang mengadukan bisa mencabut pengaduan tersebut dan kasus itu selesai.

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Bahwa UU ITE ini memberikan kepastian hukum bagi para pelaku usaha dan masyarakat dalam menggunakan tekhnologi untuk meningkatkan pembangunan perekonomian negara Indonesia. Dengan adanya hal itu maka pembangunan tersebut harus diarahkan secara teratur dan tertib sehingga akan tercapai proses pembangunan berkelanjutan dan dalam proses pembangunan tersebut mencerminkan hukum sebagai alatrekayasa social.

UU ITE juga masih banyak hal hal yang perlu diperbaiki, sehingga penerapan UU ITE ini menimbulkan banyak kendala secara teknis,

3.2 Saran

3. Pemerintah harus mempersiapkan para penegak hukum yang mengerti atau berkompeten dalam bidang teknologi, sehingga peraturan ITE ini bisa dilaksanakan dengan baik.

4. Pemerintah harus lebih gencar mensosialisasikan masalah UU ITE dengan mengadakan seminar-seminar tentang pelaksanaan UU No 11 Tahun 2008 tentang informasi transaksi elektronik.



[1] Penjelasan Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

[2] Edi Setiadi, Hukum Pidana Ekonomi, , Fakultas Hukum Unisba, Bandung, 2004, hal 7.

[3] Op cit

[4] Elly Erawaty, Pengantar Hukum Ekonomi Indonesia, edisi ketiga, , Unpar, Bandung, 2004, hlm 10

[5] Elly Erawaty, Ibid, hal 18

Prev: politik hukun
Next: GCG dalam hukum positif

http://ariflawyer.multiply.com/journal/item/4

Penerapan Pasal Penghinaan dalam UU-ITE

Dulu sewaktu UU-ITE baru mulai berlaku, saya sudah mengetahui adanya issue upaya hukum untuk mengantar bayi UU-ITE ini ke meja Mahkamah Konstitusi [MK]. Beberapa rancangan dan dukungan telah saya terima pula sesama rekan advokat, yang saya sendiri hadir ketika ada diskusi mengenai pengajuan permohonan MK terhadap pasal 27 UU-ITE ini [hotel-cemara]. Dan secara pribadi-pun saya sudah memberikan suatu opini sederhana melalui milis ini Perhimpunan Advokat Indonesia, sebelum pasal ini diajukan ke MK. Saya juga mencermati keluhan dan beban yang dialami oleh Mr. PL, yang pada diskusi ini menceritakan bagaimana ketidak-nyamanan dia saat menjadi tersangka, walau saya tidak tahu bagaimana kelanjutan proses pidana Mr. PL apakah sudah di-stop [dipeti-es-kan oleh Penyidik] ataukah sudah dilimpahkan ke Pengadilan.

Secara pribadi, saya sendiri mencemaskan jika ketentuan pasal 27 UU-ITE ini akan digunakan seperti [pedang] seorang-samurai yang digunakan membabi buta oleh aparat penyidik [kepolisian] guna menghajar kebebasan pers dalam meng-ekspresikan, tulisan, opini, fakta atau hal-hal lain yang sesungguhnya positif bagi informasi masyarakat. Bahkan tidak tertutup kepada perorangan yang telah menyampaikan ide, gagasan, kritikan, atau apapun kepada masyarakat lain, dari alamat email yg dimiliki, atau melalui blog + website yang dikelola secara pribadi. Misalkan pada milis PERADI terdapat cukup keras kritikan dan tulisan [yang sesungguhnya tidak enak dibaca] yang jika kita cermati bisa kita dalilkan / tuduhkan berdasarkan pasal penghinaan atau paling gampangnya perbuatan-tidak-menyenangkan.
Kembali kepada penerapan pasal 27 UU-ITE ini, bukankah seharusnya pasal ini baru berlaku jika si korban dapat membuktikan adanya Kerugian?. Syarat kerugian ini sesungguhnya secara tegas telah diutamakan atau harus dibuktikan terlebih dahulu oleh si-korban, karena menurut kami syarat ini telah dimunculkan sejak awal pasal UU-ITE sebagaimana diatur pada pasal 2 UU-ITE yaitu Undang-Undang ini berlaku untuk setiap Orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, baik yang berada di wilayah hukum Indonesia maupun di luar wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah hukum Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia.
Kemudian pasal yang dipermasalahkan yaitu pasal 27 [3] yang mengatur bahwa setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik ; yang memiliki ancaman pidana pada [Penjelasan Pasal 27 Cukup jelas] ; dengan ancaman pidana
Pasal 45 (1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Kami sendiri menafsirkan keberlakuan pasal 27 [3] pun harus terpenuhi atau dibuktikan terlebih dahulu adanya Kerugian sebagaimana dimaksud pasal 2 UU-ITE. Jika tidak disertai syarat kerugian, maka saya akan mempertanyakan mau dikemanakan denda uang sebesar Rp.1 M itu? atau kepada siapa duit Rp.1 M itu akan dibayar atau diberikan? lihat dalam pasal ini digunakan ketentuan dan/atau bukan "atau saja" atau "dan saja", jadi selain ada sanksi penjara ada pula sanksi denda.
Jika kita berfikir logis, tentunya denda sebesar Rp.1 M itu harus diberikan atau dibayar kepada orang atau pihak yang menjadi korban penghinaan dan pencemaran nama baik, yang karena ada delik ini korban itu mengalami rugi dan boleh diganti dengan uang. Inilah yang menjadi logika yuridis saya, mengenai harus terpenuhi / dibuktikan terlebih dahulu adanya syarat kerugian, baru bisa diberlakukan pasal 27 [3] ini kepada pers atau orang-perorangan. Jika syarat kerugian ini tidak ada atau tidak terpenuhi, maka otomatis pasal 27 [3] ini tidak bisa diterapkan pincang, atau harus dipaksakan, "pokoknya ini orang mesti di penjara, perkara ada atau tidak kerugiian, orang ini harus dipidana [tentu tidak demikian pemahamannya].
Sesungguhnya dengan berlakunya UU-ITE sangat dibutuhkan kejelian yang luar biasa bagi advokat [juga aparat penegak hukum lain] mengingat uu ini masih sangat baru di Indonesia, juga dibutuhkan kejelian menafsiran keberlakuan pasal 27 [3] UU-ITE. Karena tindak pidana ini dibarengi dengan unsur perdata [ada denda dalam nilai rupiah], artinya tuntutan ganti rugi itu juga harus dibuktikan terlebih dulu atau secara bersama-sama, yang bisa diwujudkan melalui gugatan ganti rugi dalam proses acara pidana [BAB XIII KUHAP - Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian].
Saya sendiri mencermati UU-ITE masih berupa "Hukum-Pelengkap" dari kekosongan hukum di Indonesia. Misalkan UU-ITE ini melengkapi hukum acara dalam hal pembuktian, ketika kami mengajukan bukti-bukti elektronik [mis. alamat website, alamat download] hal ini bisa diterima oleh Majelis Hakim, karena sebelumnya di tahun 2000 bukti2 yang berasal dari internet yang kami ajukan ditolak oleh Majelis Hakim, karena tidak ada dasar pengakuan terhadap bukti yang berasal dari internet.
Kami tetap menghargai upaya dari masyarakat ataupun rekan advokat yang mengajukan permohonan pengujian pasal 27 [3] UU-ITE ini ke Mahkamah Konstitusi. Yang saya yakini, upaya ini masih bisa diajukan kembali [tidak berarti kandas-das-das-sudah] karena dinamika dan perkembangan masyarakat terus berlangsung, demikian pula tidak tertutup kemungkinan pasal-pasal kaku ataupun yang menimbulkan penafsiran ganda dan membahayakan [mengganggu ketertiban hukum masyarakat] pasti akan di-remove [tidak diberlakukan/dibatalkan keberlakuannya]

sumber : http://rgs-artikel-hukum.blogspot.com/2009/07/penerapan-pasal-penghinaan-dalam-uu-ite

Senin, 26 Juli 2010

GARA-GARA kasus Prita Mulyasari

Gara-gara kasus Ibu Prita Mulyasari,… yang masuk bui dengan dakwaan pasal 27 ayat (3) UU ITE …. membuat semua orang gemaaaaz dengan UU ITE ini … !!! Bahkan ada yang berpendapat,… salaah menerapkan pasal ini… !!! Bahkan … banyak bola panas beredar… ndaak perlu laagh gue sebutin disini… namun gue tergelitik untuk melihat apa sih … penafsiran pasal 27 ayat (3) … pada UU ITE ini… ??? Mari kita telaah sejenaaak … !!!

Bunyi Pasal 27 ayat (3) tersebut… adalah… ” Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik”

Jika kita lihat kronologisnya, Ibu Prita Mulyasari ini complaint… dan termuat di detik.com ….!!! Dan atas dasar itulaagh maka Ibu Prita dituntut dengan pasal tersebut… !!! Mungkin pertimbangannya … Ibu Prita dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan… informasi elektronis… dan berimplikasi pada pencemaran nama baik… !!! Disini… terjadi penafsiran yang multitafsir… !!! Lha wong bisa aza… sudut pandang lain… dari sisi UU perlindungan konsumen… yang namanya keluhan itu adalah hak konsumen… !!! Artinya apa… Negara menjamin hak itu… !!!

Kemudian penafsiran… membuat dapat diaksesnya informasi elektronis… !!! Ini juga bisa multitafsir… Apa detik.com sebagai pengelola web bisa diartikan membuat dapat diaksesnya informasi elektronis… !!! Gimana dengan forum-forum yang ada di dunia maya ini… ??? Bagaimana TV yang menyiarkan tentang gosip selebrities sehingga nama baik selebrities merasa dirugikan… ??? Bagaimana dengan yang tidak elektronis… koran misalnya… ???

So.. menurut gue pasal 27 ayat (3) ini… sangat rancu.. dan nggak ada batasannya… !!! Bagaimana dengan kebebasan berpendapat yang terdapat pada UUD 1945… ??? Mana kedudukan yang lebih tinggi… ??? Apalagi bertabrakan dengan UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen… !!! Dan bisa saza… karena ini kasus konsumen yang complaint mestinya dilindungi… tidak boleh dijerat…. jadi terjadi multitafsir dan bertabrakan…. !!! Ini tidak boleh terjadi… hukum memang harus ditegakkan… namun harus ada kepastian hukum… !!!

Last,… menurut gue Majelis Konstitusi… kudu melihat lagi… pasal 27 secara umum… dan khususnya ayat (3)… !!! Jangan sampai … adanya celah hukum ini… terjadi keresahan di masyarakat … !!!

Sumber: http://triatmono.wordpress.com/2009/06/03/mari-menafsirkan-pasal-27-ayat-3-uu-ite/